Pekan Ini Mendung Rupiah Takluk di Hadapan Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang rupiah terpaksa takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dalam sepekan, setelah sempat 'loyo' selama 3 hari beruntun, di tengah sejumlah sentimen yang mampu menguatkan greenback AS.

Menurut data Refinitiv, nilai tukar rupiah melemah 0,35% menjadi Rp 14.305/US$ terhadap dolar AS di pasar spot dalam periode 27 September sampai 1 Oktober 2021. Rupiah sempat melemah selama 3 hari berturut-turut, yakni pada 28-30 September.

Pada hari-hari itu, rilis data aktivitas manufaktur China memberikan sentimen negatif. Sebab, untuk pertama kalinya sejak Februari 2020, sektor manufaktur China kembali mengalami kontraksi.


Aktivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.

PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan perlambatan ekonomi China akan kembali muncul.

Sebenarnya, pada penutupan perdagangan Jumat (1/10) kemarin, rupiah berhasil menguat tipis 0,03%. Namun, penguatan 'mini' tersebut tetap tidak bisa mendongkrak performa Mata Uang Garuda tersebut terhadap dolar Negeri Paman Sam.

Pada Jumat, ada sejumlah sentimen positif yang bisa menopang penguatan rupiah. Pertama, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia sudah kembali ke zona ekspansi.

Aktivitas manufaktur, yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI), berada di 52,2 pada September 2021. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,7.

Kedua, harga komoditas andalan ekspor Indonesia 'beterbangan'. Harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) telah berada di atas US$ 200/ton, sekaligus menjadi rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.

Sementara harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) melesat lebih dari 3% pada perdagangan Kamis.

Lonjakan harga komoditas membuat devisa hasil ekspor yang dinikmati Indonesia semakin banyak. Ketersediaan valas pun memadai, tidak ada kekurangan. Pasokan valas yang berlimpah ini menjadi pijakan bagi rupiah untuk menguat.

Namun, dolar AS juga ditopang oleh sejumlah sentimen positif.

Isu pengurangan pembelian aset atau tapering oleh bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed masih menjadi 'ajian' ampuh yang membuat dolar AS disegani. Pelaku pasar yakin bahwa Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan memulai tapering pada November 2021 atau bulan depan.

"Sepanjang pasar percaya bahwa The Fed akan segera melakukan tapering, maka dolar AS akan diuntungkan. Kami memperkirakan Dollar Index masih bisa menguat 5-10% dari posisi saat ini," ungkap Kit Junckes, Strategist dari Societe Generale, seperti dikutip dari Reuters.

Selama masa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), The Fed menggelontorkan likuiditas atau quantitative easing senilai US$ 120 miliar per bulan demi menggairahkan perekonomian yang 'mati suri'. Kini dengan ekonomi Negeri Stars and Stripes yang mulai pulih, laju inflasi yang stabil di atas target 2%, dan lapangan kerja yang semakin banyak tercipta, maka stimulus mulai bisa dikurangi.

Dengan tapering, maka pasokan dolar AS tidak akan semelimpah sekarang. Seperti barang, pasokan yang berkurang akan membuat 'harga' naik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]

(adf/adf)

Related Posts

0 Response to "Pekan Ini Mendung Rupiah Takluk di Hadapan Dolar AS"

Post a Comment